Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang
DOI:
https://doi.org/10.56013/rechtens.v13i2.3061Abstract
Perkembangan ekonomi dunia diimbangi munculnya kejahatan khusus (extra ordinary crime) seperti pencucian uang (money laundering). Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana bawaan (derivatife crime) yang selalu didahului oleh tindak pidana asal (predicate crime) seperti tindak pidana korupsi. KPK saat ini mengintensifkan penggunaan kombinasi UU Tipikor dan UU TPPU dalam dakwaannya. Namun ternyata tidak satupun peraturan perundang-undangan mengatur KPK berwenang melaksanakan penuntutan tersebut. Seharusnya penuntutan korupsi dengan pencucian uang harus dipisahkan sekalipun keduanya concursus idealis dengan melimpahkan penuntutan tersebut pada Kejaksaan RI. Tujuan penelitian ini, Menemukan dasar legalitas KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang dan Merumuskan kebijakan formulasi kewenangan penuntutan tindak pidana pencucian uang oleh KPK dalam konteks ius constituendum. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif dengan pendekatan Undang-Undang dan Konseptual. Hasil penelitian adalah Penuntutan tindak pidana pencucian uang oleh KPK tidak diatur dalam UU Tipikor, UU KPK maupun UU TPPU sehingga bertentangan dengan asas legalitas dan berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang dan Dalam konteks ius constituendum harus diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan khususnya UU KPK agar melegitimasi keberadaan dan pelaksanaan tugas serta kewenangan KPK dalam penuntutan tindak pidana pencucian uang.
Kata Kunci : Tindak Pidana Pencucian Uang, Penuntutan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Republik Indonesia.
Abstrack
The rapid economic development worldwide has been accompanied by the emergence of specific crimes (extraordinary crimes) such as money laundering. Money laundering is a derivative crime that is always preceded by a predicate crime such as corruption. The Corruption Eradication Commission (KPK) is currently intensifying its use of a combination of the Corruption Law and the Money Laundering Law in its prosecutions. However, it turns out that none of the legislation explicitly grants the KPK the authority to conduct these prosecutions. Ideally, the prosecution of corruption and money laundering should be separated, even though they often overlap, with such prosecutions being delegated to the Attorney General of the Republic of Indonesia. The purpose of this research is twofold: to establish the legal basis for the KPK in prosecuting money laundering offenses and to formulate policies on the formulation of KPK's prosecution authority in the context of ius constituendum. This study employs a Normative Juridical method with an approach to legal and conceptual frameworks. The research findings reveal that the prosecution of money laundering offenses by the KPK is not regulated under the Corruption Law, the KPK Law, or the Money Laundering Law, thereby conflicting with the principle of legality and potentially leading to abuse of authority. Therefore, in the context of ius constituendum, the prosecution of money laundering offenses by the KPK must be clearly regulated in specific legislation, particularly the KPK Law, to legitimize the existence, execution of duties, and authority of the KPK in prosecuting money laundering offenses.
Keywords: Money Laundering Offenses, Prosecution, Corruption Eradication Commission (KPK), and Attorney General of the Republic of Indonesia.
REFERENCES
Hairi, P. J. “Problem Kekerasan Seksual: Menelaah Arah Kebijakan Pemerintah Dalam Penanggulangannya (Sexual Violence Problems: Analyzing The Direction Of Government Policy In Handling The Problems)”. Negara Hukum: Membangun Hukum untuk Keadilan dan Kesejahteraan, Vol.6, No. 1, 2016, 1-15
- Munandar Sulaiman dan Siti Homzah, Kekerasan Terhadap Perempuan;Tinjauan dalam Berbagai Disiplin Ilmu & Kasus Kekerasan, Bandung: Refika Aditama, 2010.
Ni Wayan Yulianti Trisna Dewi, Gede Made Swardhana, “ Pengaturan Pelecehan Seksual Nonfisik Dalam Hukum Pidana Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No.12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual” Jurnal Kertha Desa, Vol. 11 No. 4, 2023.
Triwijati, NK Endah. Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis.Surabaya: Savy Amira Women’s Crisis Center, 2014.
Kartika, Yuni, and Andi Najemi. "Kebijakan hukum perbuatan pelecehan seksual (catcalling) dalam perspektif hukum pidana." PAMPAS: Journal of Criminal Law, Vol. 1, No. 2 2020.
Fahrani, Alisya, and Widodo Tresno Novianto. "Kajian Kriminologi Tindak Pidana Asusila Yang Dilakukan Oleh Anak."Jurnal Hukum Pidana dan penanggulangan Kejahatan Vol. 5, no. 2, 2016
Amrulloh, Dimas Syahrul, and Pudji Astuti. "Tinjauan Yuridis Tentang Tindak Pidana Pelecehan Seksual Nonfisik Di Indonesia." Novum: Jurnal Hukum, Vol. 9, No. 1, 2022, h. 34
Israpil, Israpil. "Budaya Patriarki Dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah Dan Perkembangannya)." Jurnal Pusaka, Vol. 5, No. 2, 2017, 141-150.
Christy A. I. Aleng, “Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal”, Lex Crimen, Vol. Ix, No. 2, 2020.
Moh. Al-vian Zul Khaizar, Analisis Pembaharuan Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana Dalam UndangUndang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Diktum: Jurnal Ilmu Hukum Volume 10 No. 1 Mei 2022.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana,2017
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2024 Yudha Bagus Tunggala Putra
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.